Pengertian Adat
Menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh dalam
tulisannya pada tahun 1660). “Adat” berasal dari bahasa Arab
عادات, bentuk jamak dari عادَة (adah),
yang berarti “cara”, “kebiasaan”.
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma,
kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat
ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak
tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang
dianggap menyimpang.
Menurut tafsiran Koen Cakraningrat, adat merupakan
perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat
tata kelakuan.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat
kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan
menderita karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung
dikenakan. Misalnya, pada masyarakat Lampung yang melarang terjadinya
perceraian, apabila terjadi suatu perceraian, maka tidak hanya yang
bersangkutan yang mendapat sanksi, tetapi seluruh keluarganya pun ikut
tercemar.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa
pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi
persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk media
rehabilitasi diri.
Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup
berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat,
yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya,
yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan
kehidupan masyarakatnya
Di Indonesia kata Adat baru digunakan pada sekitar akhir abad 19.
Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah
pertemuan budayanya dengan agama Islam pada
sekitar abad 15-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri
Melayu.
Tata kelakuan yang berintegrasi secara kuat dengan
polapola perilaku masyarakat dapat meningkat menjadi adat istiadat. Anggota
masyarakat yang melanggar adat istiadat akan mendapatkan sanksi keras.
Contohnya hukum adat masyarakat Lampung yang melarang terjadinya perceraian antara
suami istri. Apabila terjadi perceraian, maka tidak hanya nama orang yang
bersangkutan yang tercemar, tetapi juga seluruh keluarga, bahkan seluruh suku.
Oleh karena itu, orang yang melakukan pelanggaran tersebut dikeluarkan dari
masyarakat, termasuk keturunannya, sampai suatu saat keadaan semula pulih
kembali. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan upacara adat
khusus (yang biasanya membutuhkan biaya besar).
2.2 Klasifikasi Adat
Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu :
- Tingkat Nilai Budaya. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia.
- Tingkat Norma, Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut.
- Tingkat Hukum, adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis
- Tingkat Aturan Khusus
Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang
mengatur kegiatan khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan
santun.
2.3 Dasar Hukum Adat
2.3.1 Timbulnya Hukum adat
- Usage adalah cara-cara dalam melakukan bentuk perbuatan tertentu yang tlh diterima dalam msayarakat
- Folkways : kebiasaan yang diulang-ulang dalam melakukan perbuatan ys sama
- Mores (tata kelakuan) : apabila kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku tetapi diterima sebagai kaidah-kaidah pengatur
- Custom (adat istiadat) adalah Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dg pola-pola kelakuan masyarakat Kaidah yang dikenal, diakui, dihargai dan ditaati, namun tidak mempunyai kekuatan mengikat (binding force) yang dapat dipaksakan
- Living law/ people’s law/ traditional law/ customary law/ hukum rakyat/ adatrecht/ hukum adat /; kaidah yang berisi perintah, larangan & kebolehan
2.3.2 Pengertian Hukum adat
- Soepomo :
Hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan
legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun
tidak ditetapkan pihak berwajib ditaati & didukung rakyat berdasarkan
keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hukum adat
merupakan sinonim dari :
a. unstatutory law
b. hukum yang hidup sebagai konvensi pada badan negara
(parlemen, Dewan propinsi)
c. hukum yang timbul karena putusan hakim
d. hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang
dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota maupun di desa (customary
law)
2. Djojodigoeno :
Hukum yang tidak besumber kepada peraturan-peraturan
(hukum tertulis)
3. Soekanto
Kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan,
tidak dikodifikasikan & bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai
akibat hukum
4. Soerjono Soekanto
Hukum non statuter yang untuk bagian terbesar
merupakan hokum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum
agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pd putusan hakim yang
berisikan asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara diputuskan
5. Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional
Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk
peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini
mengandung unsur agama
2.3.3 Bentuk Dan Sumber Hukum Adat
Bentuk hukum adat tidak tertulis, hidup &
berkembang sebagai penjelmaan perasaan hukum rakyat sedangkan Sumber hukum adat
adalah :
1. Kebiasaan & adat istiadat yang berhubungan dg
tradisi rakyat
2. kebudayaan tradisi rakyat
3. Ugeran2 yang langsung timbul sebagai pernyataan
kebudayaan org Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan rasa keadilan dalam
hubungan pamrih
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani
rakyat
Sedangkan sumber pengenal hukum adat adalah :
1. Pepatah adat
2. Yurisprudensi adat
3. Laporan dari komisi penelitian yang khusus
dibentuk.
Misal: Komisi Mr. W.B.Bergsma yang meneliti hukum
tanah di Jawa & Madura
4. Dokumen berisi ketentuan hukum yang hidup pd masa
itu baik berupa piagam (Pepakem Cirebon), peraturan2 (awig2) maupun keputusan2
(rapang2 makasar)
5. Buku undang yang dikeluarkan raja atau sultan
6. Buku yang ditulis oleh para sarjana, seperti
Wilken, Van Vollen Hoven,
Hurgronje, Djojodiguno, Hazairin dsb
2.3.4 Corak Hukum Adat
sebagai suatu sistem nilai, hukum adat memiliki corak
yang mrpkn dr nilai2 sosial budaya dalam masyarakat (adat). Adapun corak
tersebut yaitu:
1. Religio Magis
– Alam semesta sebagai wadah memiliki isi yakni elemen
yang terdiri atas berbagai bentuk yang terwujud maupun tidak, yang masing
berdiri & berfungsi sendiri tetapi saling berhubungan yang merupakan suatu
keseluruhan & satu sama lain saling mempengaruhi. Dalam segala tingkah
lakunya manusia yang merupakan bagian kecil alam semesta harus memperhitungkan
kekuatan yang tidak terlihat.
2. Comunal (Kebersamaan)
– Sebagai anggota masyarakat kepentingan pribadi
selalu diimbangi kepentingan umum dg lain perkataan hak individu dalam hukum
adat dimbangi oleh hak umum. Contoh: Pemilik sawah harus mengijinkan air sawah
bebas yang berasal dr sawah yang lebih tinggi letaknya dialirkan melalui
sawahnya atau membolehkan warga menggembalakan ternak diatas sawahnya selam
tidak musim tandur
3. Konkrit (Terang, nyata)
– Cara berfikir yang mencoba agar hal yang dimaksud,
diingini & dikehendaki diberi wujud suatu benda sekalipun fungsinya hanya
sebagai lambang
saja
contoh: Dalam hukum adat Jawa Tengah, kata sepakat berbesanan belum mengikat
harus ada tanda yang nyata terlihat yakni peningset dari pihak laki2 kepada perempuan
4. Kontan (tunai)
– Corak kontan merupakan konsekuensi corak konkrit.
Karena tiap tindakan dalam hukum adat selalu diberi bentuk nyata, maka antara prestasi
& kontraprestasi dianggap selesai pada seketika itu pula.
2.3.5. Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin
yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat
untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
2.3.6
Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
- Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
- Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
- Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
2.3.7. Pengakuan Adat oleh
Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat
Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat
merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa,
dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang
terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang
sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku
tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia
sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam
penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam
Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28
hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam
menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan
dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan
Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang
Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat
Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman
dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan
serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas
prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari
masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA.
Kebijaksanaan tersebut meliputi :
- Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
- Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
- Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di
bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat.
Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat
untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat
dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan),
secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa
contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan
hukum adat dalam kepemilikan tanah.
2.4.
Tingkatan norma sosial adat
1. Cara (usage)
Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang
dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus.
Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak
mengeluarkan suara seperti hewan.
2. Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan
berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan
mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar.
Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang
berprestasi dalam suatu kegiatan atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada
waktu pesta.
3. Tata kelakuan (Mores) Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang
mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara
sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap
anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang
suatu perbuatan.
4. Adat istiadat (Custom)
Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang
paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat
terhadap masyarakat yang memilikinya.
2.5. Cara manusia menyikapi hukum adat
Perlu disadari bahwa manusia tidak hidup sendiri di
dunia dimana ia terbebas dari segala nilai dan adat-istiadat dan bisa berbuat
apapun sesukanya, sebab sebagai mahluk yang tinggal di dunia ini, manusia
selalu berinteraksi dengan keluarga, orang-orang di lingkungan hidup
sekelilingnya, lingkungan pekerjaan, suku dan bangsa dengan kebiasaan dan
tradisinya dimana ia dilahirkan, dan budaya religi turun-temurun dimana suku
dan bangsa itu memiliki tradisi nenek-moyang yang kuat. Karena itu manusia
tidak terbebas dari adat-istiadat.
Setidaknya ada 3 kecenderungan yang dijadikan panutan
sikap manusia menghadapi adat-istiadat disekelilingnya.
Pertama, sikap antagonistis/penolakan akan segala bentuk
adat-istiadat yang tidak diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk
fundamentalisme yang ektrim.
Kedua, sikap terbuka yang kompromistis yang menerima segala
bentuk adat-istiadat lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam
kecenderungan liberalisme ekstrim yang sering menganut faham kebebasan.
Misalnya di Belanda yang dikenal sebagai negara Eropah yang paling liberal,
pecandu narkoba bisa menjadi anggota dewan kota dan euthanasia dihalalkan.
Kebebasan yang kebablasan demikian juga kurang tepat, karena bagaimanapun
manusia hidup didunia berhubungan dengan orang lain, maka kebebasan yang
keterlaluan dari sekelompok yang satu bisa berdampak merugikan kelompok lain
Ketiga, sikap dualisme. Sikap ini tidak mempertentangkan dan
tidak mencampurkan faham-faham adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat
itu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.
2.6. Tradisi Norma adat
tradisi norma adat dapat terlihat pada beberapa garis
pertalian keturunan, di antaranya sebagai berikut.
a. Pertalian keturunan menurut garis perempuan
(matrilineal). Hal ini terdapat pada masyarakat hukum adat Minangkabau,
Kerinci, dan orang Semendo.
b. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki
(patrilineal). Hal ini terdapat pada masyarakat hukum adat orang Batak, Bali,
Ambon, dan Lampung.
c. Pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak
(bilateral). Hal ini terdapat pada masyarakat adat orang Jawa, Sunda, Madura,
Bugis, Dayak, dan Toraja.
Berbagai kelompok masyarakat atau suku di Indonesia
memiliki tata cara dan kebiasaan yang berbeda, terutama dalam melak sanakan
hukum perkawinan dan hukum waris. Dalam masyarakat yang menarik garis keturunan
dari perempuan, pihak perempuanlah yang aktif melamar pihak laki-laki. Sistem
perkawinan tersebut dikenal dengan istilah semendo. Dalam hal pembagian waris, waris tidak di bagikan
secara individual, tetapi diwariskan kepada ahli waris secara kolektif. Hasil
kekayaan warisan tersebut diperguna kan untuk biaya hidup sehari-hari para ahli
waris.
Pada masyarakat yang menarik garis keturunan dari ayah
dan ibu, sistem perkawinan boleh dilakukan dengan siapa saja, asal tidak
melanggar norma agama dan keturunan. Pihak laki-laki dan perempuan akan men
dapatkan warisan dari kedua belah pihak. Dalam hal warisan, masyarakat yang
menarik garis keturunan dari ayah dan ibu, biasanya membagikan waris tersebut
secara sama antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam masyarakat muslim,
pembagian waris disesuai kan dengan hukum waris agama Islam yang tidak membagi
sama rata antara laki-laki dan perempuan.
https://istanacinta24.wordpress.com/2010/11/23/adat-istiadat/
Tidak ada komentar:
Posting Komentar