Minggu, 12 April 2015

Cerita Fiksi



Fiksi adalah sebuah Prosa naratif yang bersifat imajiner, meskipun imajiner sebuah karya fiksi tetaplah masuk akal dan mengandung kebenaran yang dapat mendramatisasikan hubungan-hubungan antar manusia.
Kebenaran dalam sebuah dunia fiksi adalah keyakinan yang sesuai dengan pandangan pengarang terhadap masalah hidup dan kehidupan. Kebenaran dalam karya fiksi tidak harus sejalan dengan kebenaran yang berlaku di dunia nyata, misalnya kebenaran dari segi hukum, moral, agama, logika, dan sebagainya. Sesuatu yang tidak mungkin terjadi bahkan dapat terjadi di dunia nyata dan benar di dunia fiksi. Misalnya seorang perempuan yang membunuh seorang laki-laki yang memperkosanya tetapi ia dinyatakan bebas dan tidak bersalah atas kasus menghilangkannya nyawa seseorang-menurut hukum dunia nyata ia harus tetap di hukum. Sebuah karya sastra haruslah memiliki unsur intrinsik dan ekstrinsik.
Unsur intrinsik adalah unsur-unsur yang membangun karya sastra itu sendiri. Unsur-unsur inilah yang menyebabkan karya sastra hadir sebagai karya sastra, unsur-unsur yang secara faktual akan dijumpai jika membaca sebuah karya sastra. Unsur ekstrinsik ialah unsur yang membentuk karya sastra dari luar sastra itu sendiri, tetapi mempengaruhi bangunan atau sistem organisme karya sastra.
Adapun bila diperinci ciri-ciri fiksi adalah :
1) Bersifat rekaan/hasil olah imajinasi pengarang.
2) Memiliki kebenaran yang relatif.
3) Bahasa bersifat konotatif.
4) Tidak memiliki sistematika yang baku.
5) Sasarannya emosi (perasaan) pembaca.
6) Contoh : cerpen, novel dan drama.
7) Biasanya memiliki amanat (pesan moral) tertentu.

Contoh karya fiksi :
a. Cerpen :

Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma (Idrus)
Mereka Bilang Saya Monyet (Jenar Mahesa Ayu)
Jatayu (NH. Dini)

b. Novel :
Cintaku di Kampus Biru (Ashadi Siregar)
Para Priyayi (Umar Khayyam)
Kabut Sutera ungu (Ike supomo)

c. Drama:
Mega-Mega (Arifin C. Noor)
Opera Ikan asin (Nano Riantiarno)
Konglomerat Burisrowo (WS Rendra)

d. Puisi :
Balada Terbunuhnya Atmo Karpo (WS Rendra)
Cintaku Jauh di Pulau (Chairil Anwar)
Sejuta Milyar Satu (Eko Budianta)



Adat Istiadat Di Suatu Daerah



Pengertian Adat
Menurut Jalaluddin Tunsam (seorang yang berkebangsaan Arab yang tinggal di Aceh dalam tulisannya pada tahun 1660). “Adat” berasal dari bahasa Arab عادات, bentuk jamak dari عادَة (adah), yang berarti “cara”, “kebiasaan”.
Adat adalah gagasan kebudayaan yang terdiri dari nilai-nilai kebudayaan, norma, kebiasaan, kelembagaan, dan hukum adat yang lazim dilakukan di suatu daerah. Apabila adat ini tidak dilaksanakan akan terjadi kerancuan yang menimbulkan sanksi tak tertulis oleh masyarakat setempat terhadap pelaku yang dianggap menyimpang.
Menurut tafsiran Koen Cakraningrat, adat merupakan perwujudan ideal dari kebudayaan. Ia menyebut adat selengkapnya sebagai adat tata kelakuan.
Adat merupakan norma yang tidak tertulis, namun sangat kuat mengikat sehingga anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan menderita karena sanksi keras yang kadang-kadang secara tidak langsung dikenakan. Misalnya, pada masyarakat Lampung yang melarang terjadinya perceraian, apabila terjadi suatu perceraian, maka tidak hanya yang bersangkutan yang mendapat sanksi, tetapi seluruh keluarganya pun ikut tercemar.
Sanksi atas pelanggaran adat istiadat dapat berupa pengucilan, dikeluarkan dari masyarakat/kastanya, atau harus memenuhi persyaratan tertentu, seperti melakukan upacara tertentu untuk media rehabilitasi diri.
Masyarakat Adat adalah komunitas-komunitas yang hidup berdasarkan asal-usul leluhur secara turun temurun diatas suatu wilayah adat, yang memiliki kedaulatan atas tanah dan kekayaan alam, kehidupan sosial budaya, yang diatur oleh hukum adat dan lembaga adat yang mengelola keberlangsungan kehidupan masyarakatnya
Di Indonesia kata Adat baru digunakan pada sekitar akhir abad 19. Sebelumnya kata ini hanya dikenal pada masyarakat Melayu setelah pertemuan budayanya dengan agama Islam pada sekitar abad 15-an. Kata ini antara lain dapat dibaca pada Undang-undang Negeri Melayu.
Tata kelakuan yang berintegrasi secara kuat dengan polapola perilaku masyarakat dapat meningkat menjadi adat istiadat. Anggota masyarakat yang melanggar adat istiadat akan mendapatkan sanksi keras. Contohnya hukum adat masyarakat Lampung yang melarang terjadinya perceraian antara suami istri. Apabila terjadi perceraian, maka tidak hanya nama orang yang bersangkutan yang tercemar, tetapi juga seluruh keluarga, bahkan seluruh suku. Oleh karena itu, orang yang melakukan pelanggaran tersebut dikeluarkan dari masyarakat, termasuk keturunannya, sampai suatu saat keadaan semula pulih kembali. Hal lain yang bisa dilakukan adalah dengan melakukan upacara adat khusus (yang biasanya membutuhkan biaya besar).




2.2 Klasifikasi Adat
Adat dibaginya atas empat tingkat, yaitu :
  1. Tingkat Nilai Budaya. Adat yang berada pada tingkat nilai budaya bersifat sangat abstrak, ia merupakan ider-ide yang mengkonsesikan hal-hal yang paling berniali dalam kehidupan suatu masyarakat. Seperti nilai gotong royong dalam masyarakat Indonesia.
  2. Tingkat Norma, Adat pada tingkat norma-norma merupakan nilai-nilai budaya yang telah terkait kepada peran-peran tertentu (roles), peran sebagai pemimpin, peran sebagai mamak, peran sebagai guru membawakan sejumlah norma yang menjadi pedoman bagi kelakuannya dalam hal memainkan peranannya dalam berbagai kedudukan tersebut.
  3. Tingkat Hukum, adat pada tingkat hukum terdiri dari hukum tertulis dan hukum adat yang tidak tertulis
  4. Tingkat Aturan Khusus
Selanjutnya adat pada tingkat aturan-aturan yang mengatur kegiatan khusus yang jelas terbatas ruang lingkupnya pada sopan santun.
2.3 Dasar Hukum Adat
2.3.1 Timbulnya Hukum adat
  • Usage adalah cara-cara dalam melakukan bentuk perbuatan tertentu yang tlh diterima dalam msayarakat
  • Folkways : kebiasaan yang diulang-ulang dalam melakukan perbuatan ys sama
  • Mores (tata kelakuan) : apabila kebiasaan tersebut tidak semata-mata dianggap sebagai cara berperilaku tetapi diterima sebagai kaidah-kaidah pengatur
  • Custom (adat istiadat) adalah Tata kelakuan yang kekal serta kuat integrasinya dg pola-pola kelakuan masyarakat Kaidah yang dikenal, diakui, dihargai dan ditaati, namun tidak mempunyai kekuatan mengikat (binding force) yang dapat dipaksakan
  • Living law/ people’s law/ traditional law/ customary law/ hukum rakyat/ adatrecht/ hukum adat /; kaidah yang berisi perintah, larangan & kebolehan
2.3.2 Pengertian Hukum adat
  1. Soepomo :
Hukum yang tidak tertulis dalam peraturan-peraturan legislatif (unstatutory law) meliputi peraturan-peraturan hidup yang meskipun tidak ditetapkan pihak berwajib ditaati & didukung rakyat berdasarkan keyakinan bahwa peraturan tersebut mempunyai kekuatan hukum. Hukum adat merupakan sinonim dari :
a. unstatutory law
b. hukum yang hidup sebagai konvensi pada badan negara (parlemen, Dewan propinsi)
c. hukum yang timbul karena putusan hakim
d. hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup baik di kota maupun di desa (customary law)
2. Djojodigoeno :
Hukum yang tidak besumber kepada peraturan-peraturan (hukum tertulis)
3. Soekanto
Kompleks adat-adat yang kebanyakan tidak dikitabkan, tidak dikodifikasikan & bersifat paksaan, mempunyai sanksi, jadi mempunyai akibat hukum
4. Soerjono Soekanto
Hukum non statuter yang untuk bagian terbesar merupakan hokum kebiasaan sedangkan untuk bagian terkecil terdiri dari hukum agama. Selain itu juga mencakup hukum yang didasarkan pd putusan hakim yang berisikan asas hukum dalam lingkungan dimana suatu perkara diputuskan
5. Seminar Hukum Adat dan Pembinaan Hukum Nasional
Hukum Indonesia asli yang tidak tertulis dalam bentuk peraturan   perundang-undangan Republik Indonesia yang disana sini mengandung unsur agama
2.3.3 Bentuk Dan Sumber Hukum Adat
Bentuk hukum adat tidak tertulis, hidup & berkembang sebagai penjelmaan perasaan hukum rakyat sedangkan Sumber hukum adat adalah :
1. Kebiasaan & adat istiadat yang berhubungan dg tradisi rakyat
2. kebudayaan tradisi rakyat
3. Ugeran2 yang langsung timbul sebagai pernyataan kebudayaan org Indonesia asli, tegasnya sebagai pernyataan rasa keadilan dalam hubungan pamrih
4. Perasaan keadilan yang hidup dalam hati nurani rakyat
Sedangkan sumber pengenal hukum adat adalah :
1. Pepatah adat
2. Yurisprudensi adat
3. Laporan dari komisi penelitian yang khusus dibentuk.
Misal: Komisi Mr. W.B.Bergsma yang meneliti hukum tanah di Jawa & Madura
4. Dokumen berisi ketentuan hukum yang hidup pd masa itu baik berupa piagam (Pepakem Cirebon), peraturan2 (awig2) maupun keputusan2 (rapang2 makasar)
5. Buku undang yang dikeluarkan raja atau sultan
6. Buku yang ditulis oleh para sarjana, seperti Wilken, Van Vollen Hoven,
Hurgronje, Djojodiguno, Hazairin dsb
2.3.4 Corak Hukum Adat
sebagai suatu sistem nilai, hukum adat memiliki corak yang mrpkn dr nilai2 sosial budaya dalam masyarakat (adat). Adapun corak tersebut yaitu:
1. Religio Magis
– Alam semesta sebagai wadah memiliki isi yakni elemen yang terdiri atas berbagai bentuk yang terwujud maupun tidak, yang masing berdiri & berfungsi sendiri tetapi saling berhubungan yang merupakan suatu keseluruhan & satu sama lain saling mempengaruhi. Dalam segala tingkah lakunya manusia yang merupakan bagian kecil alam semesta harus memperhitungkan kekuatan yang tidak terlihat.
2. Comunal (Kebersamaan)
– Sebagai anggota masyarakat kepentingan pribadi selalu diimbangi kepentingan umum dg lain perkataan hak individu dalam hukum adat dimbangi oleh hak umum. Contoh: Pemilik sawah harus mengijinkan air sawah bebas yang berasal dr sawah yang lebih tinggi letaknya dialirkan melalui sawahnya atau membolehkan warga menggembalakan ternak diatas sawahnya selam tidak musim tandur
3. Konkrit (Terang, nyata)
– Cara berfikir yang mencoba agar hal yang dimaksud, diingini & dikehendaki diberi wujud suatu benda sekalipun fungsinya hanya sebagai lambang saja              contoh: Dalam hukum adat Jawa Tengah, kata sepakat berbesanan belum mengikat harus ada tanda yang nyata terlihat yakni peningset dari pihak laki2 kepada perempuan
4. Kontan (tunai)
– Corak kontan merupakan konsekuensi corak konkrit. Karena tiap tindakan dalam hukum adat selalu diberi bentuk nyata, maka antara prestasi & kontraprestasi dianggap selesai pada seketika itu pula.
2.3.5.  Penegak hukum adat
Penegak hukum adat adalah pemuka adat sebagai pemimpin yang sangat disegani dan besar pengaruhnya dalam lingkungan masyarakat adat untuk menjaga keutuhan hidup sejahtera.
2.3.6         Aneka Hukum Adat
Hukum Adat berbeda di tiap daerah karena pengaruh
  1. Agama : Hindu, Budha, Islam, Kristen dan sebagainya. Misalnya : di Pulau Jawa dan Bali dipengaruhi agama Hindu, Di Aceh dipengaruhi Agama Islam, Di Ambon dan Maluku dipengaruhi agama Kristen.
  2. Kerajaan seperti antara lain: Sriwijaya, Airlangga, Majapahit.
  3. Masuknya bangsa-bangsa Arab, China, Eropa.
2.3.7.  Pengakuan Adat oleh Hukum Formal
Mengenai persoalan penegak hukum adat Indonesia, ini memang sangat prinsipil karena adat merupakan salah satu cermin bagi bangsa, adat merupkan identitas bagi bangsa, dan identitas bagi tiap daerah. Dalam kasus sala satu adat suku Nuaulu yang terletak di daerah Maluku Tengah, ini butuh kajian adat yang sangat mendetail lagi, persoalan kemudian adalah pada saat ritual adat suku tersebut, dimana proses adat itu membutuhkan kepala manusia sebagai alat atau prangkat proses ritual adat suku Nuaulu tersebut. Dalam penjatuhan pidana oleh sala satu Hakim pada Perngadilan Negeri Masohi di Maluku Tengah, ini pada penjatuhan hukuman mati, sementara dalam Undang-undang Kekuasaan Kehakiman Nomor 4 tahun 2004. dalam Pasal 28 hakim harus melihat atau mempelajari kebiasaan atau adat setempat dalam menjatuhan putusan pidana terhadap kasus yang berkaitan dengan adat setempat.
Dalam kerangka pelaksanaan Hukum Tanah Nasional dan dikarenakan tuntutan masyarakat adat maka pada tanggal 24 Juni 1999, telah diterbitkan Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No.5 Tahun 1999 tentang Pedoman Penyelesaian Masalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat.
Peraturan ini dimaksudkan untuk menyediakan pedoman dalam pengaturan dan pengambilan kebijaksanaan operasional bidang pertanahan serta langkah-langkah penyelesaian masalah yang menyangkut tanah ulayat.
Peraturan ini memuat kebijaksanaan yang memperjelas prinsip pengakuan terhadap “hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat” sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 3 UUPA. Kebijaksanaan tersebut meliputi :
  1. Penyamaan persepsi mengenai “hak ulayat” (Pasal 1)
  2. Kriteria dan penentuan masih adanya hak ulayat dan hak-hak yang serupa dari masyarakat hukum adat (Pasal 2 dan 5).
  3. Kewenangan masyarakat hukum adat terhadap tanah ulayatnya (Pasal 3 dan 4)
Indonesia merupakan negara yang menganut pluralitas di bidang hukum, dimana diakui keberadaan hukum barat, hukum agama dan hukum adat. Dalam prakteknya (deskritif) sebagian masyarakat masih menggunakan hukum adat untuk mengelola ketertiban di lingkungannya.
Di tinjau secara preskripsi (dimana hukum adat dijadikan landasan dalam menetapkan keputusan atau peraturan perundangan), secara resmi, diakui keberadaaanya namun dibatasi dalam peranannya. Beberapa contoh terkait adalah UU dibidang agraria No.5 / 1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.

2.4.      Tingkatan norma sosial adat
1.  Cara (usage)
Cara adalah suatu bentuk perbuatan tertentu yang dilakukan individu dalam suatu masyarakat tetapi tidak secara terus-menerus.
Contoh: cara makan yang wajar dan baik apabila tidak mengeluarkan suara seperti hewan.
2. Kebiasaan (Folkways)
Kebiasaan merupakan suatu bentuk perbuatan berulang-ulang dengan bentuk yang sama yang dilakukan secara sadar dan mempunyai tujuan-tujuan jelas dan dianggap baik dan benar.
Contoh: Memberi hadiah kepada orang-orang yang berprestasi dalam suatu kegiatan atau kedudukan, memakai baju yang bagus pada waktu pesta.
3.  Tata kelakuan (Mores) Tata kelakuan adalah sekumpulan perbuatan yang mencerminkan sifat-sifat hidup dari sekelompok manusia yang dilakukan secara sadar guna melaksanakan pengawasan oleh sekelompok masyarakat terhadap anggota-anggotanya. Dalam tata kelakuan terdapat unsur memaksa atau melarang suatu perbuatan.
Contoh: Melarang pembunuhan, pemerkosaan, atau menikahi saudara kandung.
4.  Adat istiadat (Custom)
Adat istiadat adalah kumpulan tata kelakuan yang paling tinggi kedudukannya karena bersifat kekal dan terintegrasi sangat kuat terhadap masyarakat yang memilikinya.
2.5. Cara manusia menyikapi hukum adat
Perlu disadari bahwa manusia tidak hidup sendiri di dunia dimana ia terbebas dari segala nilai dan adat-istiadat dan bisa berbuat apapun sesukanya, sebab sebagai mahluk yang tinggal di dunia ini, manusia selalu berinteraksi dengan keluarga, orang-orang di lingkungan hidup sekelilingnya, lingkungan pekerjaan, suku dan bangsa dengan kebiasaan dan tradisinya dimana ia dilahirkan, dan budaya religi turun-temurun dimana suku dan bangsa itu memiliki tradisi nenek-moyang yang kuat. Karena itu manusia tidak terbebas dari adat-istiadat.
Setidaknya ada 3 kecenderungan yang dijadikan panutan sikap manusia menghadapi adat-istiadat disekelilingnya.
Pertama, sikap antagonistis/penolakan akan segala bentuk adat-istiadat yang tidak diingininya, gejala ini kita lihat dalam bentuk fundamentalisme yang ektrim.
Kedua, sikap terbuka yang kompromistis yang menerima segala bentuk adat-istiadat lingkungannya. Sikap demikian sering terlihat dalam kecenderungan liberalisme ekstrim yang sering menganut faham kebebasan. Misalnya di Belanda yang dikenal sebagai negara Eropah yang paling liberal, pecandu narkoba bisa menjadi anggota dewan kota dan euthanasia dihalalkan. Kebebasan yang kebablasan demikian juga kurang tepat, karena bagaimanapun manusia hidup didunia berhubungan dengan orang lain, maka kebebasan yang keterlaluan dari sekelompok yang satu bisa berdampak merugikan kelompok lain
Ketiga, sikap dualisme. Sikap ini tidak mempertentangkan dan tidak mencampurkan faham-faham adat itu, tetapi membiarkan semua adat-istiadat itu berjalan sesuai dengan situasi dan kondisi masing-masing.
2.6.   Tradisi Norma adat
tradisi norma adat dapat terlihat pada beberapa garis pertalian keturunan, di antaranya sebagai berikut.
a. Pertalian keturunan menurut garis perempuan (matrilineal). Hal ini terdapat pada masyarakat hukum adat Minangkabau, Kerinci, dan orang Semendo.
b. Pertalian keturunan menurut garis laki-laki (patrilineal). Hal ini terdapat pada masyarakat hukum adat orang Batak, Bali, Ambon, dan Lampung.
c. Pertalian keturunan menurut garis ibu dan bapak (bilateral). Hal ini terdapat pada masyarakat adat orang Jawa, Sunda, Madura, Bugis, Dayak, dan Toraja.
Berbagai kelompok masyarakat atau suku di Indonesia memiliki tata cara dan kebiasaan yang berbeda, terutama dalam melak sanakan hukum perkawinan dan hukum waris. Dalam masyarakat yang menarik garis keturunan dari perempuan, pihak perempuanlah yang aktif melamar pihak laki-laki. Sistem perkawinan tersebut dikenal dengan istilah semendo. Dalam hal pembagian waris, waris tidak di bagikan secara individual, tetapi diwariskan kepada ahli waris secara kolektif. Hasil kekayaan warisan tersebut diperguna kan untuk biaya hidup sehari-hari para ahli waris.
Pada masyarakat yang menarik garis keturunan dari ayah dan ibu, sistem perkawinan boleh dilakukan dengan siapa saja, asal tidak melanggar norma agama dan keturunan. Pihak laki-laki dan perempuan akan men dapatkan warisan dari kedua belah pihak. Dalam hal warisan, masyarakat yang menarik garis keturunan dari ayah dan ibu, biasanya membagikan waris tersebut secara sama antara laki-laki dan perempuan. Namun dalam masyarakat muslim, pembagian waris disesuai kan dengan hukum waris agama Islam yang tidak membagi sama rata antara laki-laki dan perempuan.
https://istanacinta24.wordpress.com/2010/11/23/adat-istiadat/